Definisi Musthola'ah Hadits
HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.
TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga isi hadits.
Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits
Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut perawi hadits.
Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah
As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad
Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim
Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).
Matnu'l Hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Gambaran Sanad
Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.
Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.
Klasifikasi Hadits
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits.
Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
Syarat-syarat Hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
1. Rawinya bersifat Adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berillat dan
5. Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3. Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya
a. Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
b. Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
c. Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
d. Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
e. Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
f. Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
g. Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
h. Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
i. Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
j. Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
k. Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
l. Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi
1. Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
2. Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'in.
3. Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
4. Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
5. Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya
1. Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
2. Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.
Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ?
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.
Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya."
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :
[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
Syarat syarat hadits mutawatir
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.
Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Klasifikasi hadits Ahad
Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi
Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
1.Qala ( yaqalu ) Allahu
2. Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
3. Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:
1. Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
2. Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
3. Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
4. Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.
Bid'ah
Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.
Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.
Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah, maka itu adalah bid'ah.
"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.
Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.
Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal bid'ah.
Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?
Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits ada tiga macam:
Yang wajib dibenarkan (diterima).
Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:
Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).
Sebab-sebab terjadi atas timbulnya Hadits-hadits Palsu
Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual hadits-hadits Palsu).
Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya.
Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu
Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits).
(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany; Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah; Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany);
Jumat, 29 Agustus 2008
Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan
Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?
Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal
Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).
Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[1]
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).
Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya
Tidak Terikat dengan Mathla’
Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:
Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.
Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”
Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]
Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.
Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]
Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)
Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.
Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”
Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]
Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]
Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.
Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].
Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]
Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]
Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.
Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State
Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.
Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.
Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.
Khatimah
Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua problematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan menerapkan syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslimin hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).
WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI)
Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal
Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).
Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[1]
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).
Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya
Tidak Terikat dengan Mathla’
Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:
Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.
Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”
Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]
Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.
Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]
Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)
Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.
Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”
Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]
Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]
Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.
Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].
Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]
Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]
Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.
Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State
Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.
Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.
Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.
Khatimah
Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua problematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan menerapkan syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslimin hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).
WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI)
Rabu, 27 Agustus 2008
Mawar Anna

menjelang Ramadhan tahun ini Anna kembali tersentak oleh kejadian lalu yang amat menyakitkan. peristiwa itu masih saja tertanam di relung hati yang paling dalam di hati Anna. secercah kata-kata yang serupa terlontar dari seorang yang dulu pernah kecewa akan indahnya Cinta.
idealisme' terbaca di sebuah pesan singkat Anna malam kemarin.
Sahabat Anna...
Anna punya satu ceita lagi nie..
diambil dari sebuah kisah nyata yang baru saja terjadi.
begini ceritanya,
"seorang aktivis ikhwan yang sedang jatuh cinta, cintanya kepada seorang pujaan hati yang juga sama sebagai aktivis kampus (akhwat). ternyata kedua aktivis ini sama-sama memiliki kecenderungan. hingga terjalinnya cinta yang berlandaskan sebuah idealisme.
demi cita-cita mulia mereka itu akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan yang di ridhoi Allah, menikah. cinta suci yang berlandaskan idealisme itu ternyata tidak mudah terwujud, bahtera yang mereka turunkan gagal berlayar mencapai dermaga. mereka tidak berdaya untuk memperjuangkannya. hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah...karena idealisme yang mereka miliki.
beberapa bulan setelah perpisahan mereka, ternyata salah satu dari mereka menikah dengan yang lain yang mungkin lebih menjanjikan. akhirnya ada kekecewaan yang mendalam...hingga akhirnya kekecewaan itu berhujung kepada kenyataan yang terjadi sekarang.
waktu berganti terus berjalan...
"bersambung...
Marhaban Ya Ramadhan 1429 H

Teruntuk kedua orang tua Anna tercinta, Adik-adik Anna, Suli, Rian dan Ida...
Anna sangat merindukan kalian semua.
maafin Anna belum nisa memberikan yang terbaik untuk kalian semua.
Anna rindu ketika saur bersama...berbuka...(?_?)...
mamak, bapak, maafin Anna telah mengecewakan kalian...
mohon maaf lahir dan Batin,
Syahid Al-Hafidz Anna...
Anna rindu akan ibadah yang sempurna...
buat saudara Anna di negeri seberang...Kalimantan Barat..
Pontianak, Ketapang...
kalian pasti merindukan Anna khan?!
Anak-anak P16...kapan lagi ya kita bisa saur bareng, tilawah bareng, jama'ahan...
tenang deh...ga bakalan lagi ada yang gedor-gedor pintu buat bangun saur...
kalian kan uda dewasa...
Sungguh Anna kesepian...
Teruntuk Syahid Al Hafidz Anna
Syahid Al-Hafidz Anna yang baik, ketika pertama pertemuan kita betapa semangatnya engkau, seringkali pesan singkat engkau kirimkan pada Anna. ketika pertama kali Anna sampai ke kota ini engkau menyapa Anna dengan indahnya.
ketika pertemuan kita pertama kali itu, engkau tampak amat mengesankan, engkau juga demikian menyampaikan ungkapanmu pada Anna. bahkan ketika engkau bawa Anna ketempat kelahiranmu dan memperkenalkan Anna kepada orang-orang terdekatmu engkau tampak amat bersemangat. apalagi ketika engkau meminta Anna menjadi bidadarimu...sungguh aura wajahmu memancar bak mentari pagi yang memancarkan sinarnya.
Syahid Anna...ternyata Anna belum banyak mengerti akan sifatmu yang tersembunyi di balik tirai pribadimu, sulit Anna menjangkaunya. terkadang Aneh, apakah itu memang sifat kaummu?
ketika Anna ingin dekat padamu, engkau membisu...
kebisuanmu sangat sering membuat Anna tertekan, namun ketika engkau ceria kembali dan hadir di hadapan Anna, apa yang Anna rasakan hilang seketika.
Syahid Anna...
Anna telah membawa dirimu ke jurang curam yang amat jauh..
kita telah berada di tepian jurang itu. sungguh Anna takut akan ketinggian, meskipun begitu tak rela Anna membiarkanmu terjun ke dalam jurang itu, biarkan selangkan lagi Anna yang ke sana...
syahid Al hafidz Anna...
ana belum mengertimu seluruhnya, karena tabir itu selalu engkau pakai ketika Anna hendak melihatmu.
ketika pertemuan kita pertama kali itu, engkau tampak amat mengesankan, engkau juga demikian menyampaikan ungkapanmu pada Anna. bahkan ketika engkau bawa Anna ketempat kelahiranmu dan memperkenalkan Anna kepada orang-orang terdekatmu engkau tampak amat bersemangat. apalagi ketika engkau meminta Anna menjadi bidadarimu...sungguh aura wajahmu memancar bak mentari pagi yang memancarkan sinarnya.
Syahid Anna...ternyata Anna belum banyak mengerti akan sifatmu yang tersembunyi di balik tirai pribadimu, sulit Anna menjangkaunya. terkadang Aneh, apakah itu memang sifat kaummu?
ketika Anna ingin dekat padamu, engkau membisu...
kebisuanmu sangat sering membuat Anna tertekan, namun ketika engkau ceria kembali dan hadir di hadapan Anna, apa yang Anna rasakan hilang seketika.
Syahid Anna...
Anna telah membawa dirimu ke jurang curam yang amat jauh..
kita telah berada di tepian jurang itu. sungguh Anna takut akan ketinggian, meskipun begitu tak rela Anna membiarkanmu terjun ke dalam jurang itu, biarkan selangkan lagi Anna yang ke sana...
syahid Al hafidz Anna...
ana belum mengertimu seluruhnya, karena tabir itu selalu engkau pakai ketika Anna hendak melihatmu.
Senin, 25 Agustus 2008
Rindu Anna
...Rindunya Anna akan malam yang membuka semua tabir keindahan bersama sang gelap yang hitam.
rindunya Anna akan takbir, tasbih dan tahmid bersama angin yang menghembus.
rindunya Anna akan desah nafas sang gelap ketika ia memeluk Anna...
rindunya Anna akan kebersamaan dalam naungan ridho sang maha pencipta..
ibadah sempurna sebagai penebus segala kelalaian lalu...
ibadah sempurna ketika tak ada satupun yang berani menipu "ku"
semua untuknya...semuanya untuk Anna...bukan yang lain..
Rindunya Anna akan genapnya agama ini,
rindunya Anna akan kelelahan akan nikmatnya yang Allah berikan bersama Anna dan dia.
rindunya Anna akan jeritan, rintihan dan belaian "dia" mujhid syahid al hafidz Anna..
cemburunya Anna ketika melihat sepasang merpati yang terbang,
cemburunya Anna ketika melihat kedua pasang tangan merangkul, berpegangan erat...
keduanya saling menguatkan, keduanya saling menyempurnakan... tak seperti Anna yag hanya memiliki "dia" sesaat...karena "dia belum" sempurna untuk Anna, demikian Anna belum sempurna untuk "dia"
ketika suatu malam menjelang..
terbuka pintu dan tabir semua ketika itu...
indah...namun hanya sedetik...
Anna lepaskan semua yang terikat pada "dia"
Anna berikan dari tanah lapang yang menjulang hingga samudera indah yang mengalir...
Anna nikmati keindahan ciptaanNya...namun setelah "dia" berlalu...Anna gugur berderaian air mata...(?_?)...
rindunya Anna ya Allah...
akan kesempurnaan ibadah ini...
dimalam penuh ampunan, di bulan penuh barokah, di bulan penuh maqhfiroh, di bulan penuh keindahan,di malam bulan dimana lebih baik dari seribu bulan...Anna beribadah sempurna bersama "dia"...
rindunya Anna akan takbir, tasbih dan tahmid bersama angin yang menghembus.
rindunya Anna akan desah nafas sang gelap ketika ia memeluk Anna...
rindunya Anna akan kebersamaan dalam naungan ridho sang maha pencipta..
ibadah sempurna sebagai penebus segala kelalaian lalu...
ibadah sempurna ketika tak ada satupun yang berani menipu "ku"
semua untuknya...semuanya untuk Anna...bukan yang lain..
Rindunya Anna akan genapnya agama ini,
rindunya Anna akan kelelahan akan nikmatnya yang Allah berikan bersama Anna dan dia.
rindunya Anna akan jeritan, rintihan dan belaian "dia" mujhid syahid al hafidz Anna..
cemburunya Anna ketika melihat sepasang merpati yang terbang,
cemburunya Anna ketika melihat kedua pasang tangan merangkul, berpegangan erat...
keduanya saling menguatkan, keduanya saling menyempurnakan... tak seperti Anna yag hanya memiliki "dia" sesaat...karena "dia belum" sempurna untuk Anna, demikian Anna belum sempurna untuk "dia"
ketika suatu malam menjelang..
terbuka pintu dan tabir semua ketika itu...
indah...namun hanya sedetik...
Anna lepaskan semua yang terikat pada "dia"
Anna berikan dari tanah lapang yang menjulang hingga samudera indah yang mengalir...
Anna nikmati keindahan ciptaanNya...namun setelah "dia" berlalu...Anna gugur berderaian air mata...(?_?)...
rindunya Anna ya Allah...
akan kesempurnaan ibadah ini...
dimalam penuh ampunan, di bulan penuh barokah, di bulan penuh maqhfiroh, di bulan penuh keindahan,di malam bulan dimana lebih baik dari seribu bulan...Anna beribadah sempurna bersama "dia"...
Rabu, 20 Agustus 2008
Sahabatku Raisya
Anna punya kisah seorang sahabat, Anna harap siapapun yang membacanya agar mendoakan sahabat Anna tersebut. ia butuh kekuatan untuk bangkit.
sahabat Anna itu namanya Raisya (bukan nama sebenarnya).
hampir 3 bulan terahir ini Raisya hijrah ke sebuah kota yang cukup jauh dari kampung halamannya. Raisya bertemu dengan seorang teman mayanya yang telah lama dikenalnya bahkan telah menjadi pujaan hatinya. setelah pertemuan yang pertama kali, Raisya dan teman mayanya itu memutuskan untuk melanjutkan ke hubungan yang serius yakni menikah. hubungan itu berlanjut hingga akhirnya terjadi pelanggaran "diluar batas". seiring berjalannya waktu, 2 pekan terakhir ini terjadilah berbagai ujian, sesuatu yang telah ia rencanakan bersama teman mayanya itu tertimpa kegoncangan. badai satu demi satu menghampiri Raisya, ia kalut akan keadaan dirinya yang telah terlanjur terpuruk,ia merasa bersalah dan berdosa serta ketakutan akan keadaan dirinya. dikesendirian Raisya berjalan seperti meniti sebuah titian yang amat tajam, yang mesti ia lewati. sedikit demi sedikit ada kekaburan yang akhirnya membuat Raisya tak berarah. seperti burung yang patah sayapnya, ia tidak sempurna dan tidak kuat untuk terbang. terlebih lagi saat ini ayahnya tercinta mendapat musibah.
dari Anna : untuk Raisya Sahabatku,
Raisya sahabat terbaik anna...
sesungguhnya Allah senantiasa menegur hamba yang ia sayangi. Allah menegurmu dengan kejadian tersebut. karena selama ini apa yang telah Raisya lakukan adalah suatu perbuatan yang amat dibenci Allah. Raisya mengerti ilmunya,diluar batas keasadaranmu telah melakukan perbuatan yang membuatmu terjerumus. tetapi berbahagialah sahabatku, Allah masih menegurmu di dunia. betapa sayangnya Allah kepadamu, Ia hendak membuatmu bersih kembali. ia tidak rela membuatmu dan ia terjerumus lebih jauh. apa jadinya jika Allah tidak menegurmu. bukankah engkau akan terus menikmati apa yang Allah benci tersebutjika saja ia tidak menegurmu dengan kejadian ini?
sahabatku Raisya, semua pasti ada hikmahnya.
mohon do'a agar Anna tidak kaburo maktan....
sahabat Anna itu namanya Raisya (bukan nama sebenarnya).
hampir 3 bulan terahir ini Raisya hijrah ke sebuah kota yang cukup jauh dari kampung halamannya. Raisya bertemu dengan seorang teman mayanya yang telah lama dikenalnya bahkan telah menjadi pujaan hatinya. setelah pertemuan yang pertama kali, Raisya dan teman mayanya itu memutuskan untuk melanjutkan ke hubungan yang serius yakni menikah. hubungan itu berlanjut hingga akhirnya terjadi pelanggaran "diluar batas". seiring berjalannya waktu, 2 pekan terakhir ini terjadilah berbagai ujian, sesuatu yang telah ia rencanakan bersama teman mayanya itu tertimpa kegoncangan. badai satu demi satu menghampiri Raisya, ia kalut akan keadaan dirinya yang telah terlanjur terpuruk,ia merasa bersalah dan berdosa serta ketakutan akan keadaan dirinya. dikesendirian Raisya berjalan seperti meniti sebuah titian yang amat tajam, yang mesti ia lewati. sedikit demi sedikit ada kekaburan yang akhirnya membuat Raisya tak berarah. seperti burung yang patah sayapnya, ia tidak sempurna dan tidak kuat untuk terbang. terlebih lagi saat ini ayahnya tercinta mendapat musibah.
dari Anna : untuk Raisya Sahabatku,
Raisya sahabat terbaik anna...
sesungguhnya Allah senantiasa menegur hamba yang ia sayangi. Allah menegurmu dengan kejadian tersebut. karena selama ini apa yang telah Raisya lakukan adalah suatu perbuatan yang amat dibenci Allah. Raisya mengerti ilmunya,diluar batas keasadaranmu telah melakukan perbuatan yang membuatmu terjerumus. tetapi berbahagialah sahabatku, Allah masih menegurmu di dunia. betapa sayangnya Allah kepadamu, Ia hendak membuatmu bersih kembali. ia tidak rela membuatmu dan ia terjerumus lebih jauh. apa jadinya jika Allah tidak menegurmu. bukankah engkau akan terus menikmati apa yang Allah benci tersebutjika saja ia tidak menegurmu dengan kejadian ini?
sahabatku Raisya, semua pasti ada hikmahnya.
mohon do'a agar Anna tidak kaburo maktan....
Ternyata tempat yang paling jauh adalah masa lalu, sedangkan yang terdekat adalah kematian. semakin jauh melangkah, ternyata semakin dekat menuju kematian. waktu yang tersedia ternyata lebih sedikit dibanding aktifitas yang ada. itulah pernyataan seorang yang umur/usianya pendek.
menarik jika membahas masalah usia. karena disini ternyata salah besar jika usia atau umur pendek itu diidentikkan dengan masa hidup seseorang. padahal yang namanya usia pendek itu adalah jika seseorang hidup di dunia ini tidak tahu tujuan hidupnya, dari mana, mau apa, dan akan kemana?. seorang yang kesehariannya hanya dihabiskan untuk tidur, makan, jalan-jalan dan lain2 yang tidak jelas aturan dan tujuannya. ia memulai hari-harinya hanya dengan mengikuti hawa nafsu, untuk menghabiskan waktu yang ada. ia banyak dihabiskan waktu, tidak bisa mengendalikan dan memanfaatkan waktu, itulah orang-orang yang merugi.
Lain halnya dengan seorang muslim, untuk menjawab pertanyaan yang dapat menjawab kemana tujuan hidup manusia, yakni dari mana, mau apa dan akan kemana?. seorang muslim akan dengan mudah menjawab semua itu, karena islam mempunyai jawabannya.
manusia diciptakan oleh Allah, untuk beribadah kepadaNya. menjalankan apa yang di perintahkan Allah dan menjauhi laranganNya melalui Firman dan yang dibawa RasulNya Muhammad SAW. islam sudah sangat jelas menyatakan bahwa tujuan hidup manusia hanyalah beribadah dan mendapat ridhoNya. segala yang dilakukan didunia hanyalah sebuah jalan dimana manusia menuju akhirat yang kekal abadi. kehidupan dunia hanya sedetik, ia hanya sebuah ladang tempat manusia bercocok tanam untuk dipanen di akhirat kelak. dengan aturan-aturan yang telah disyari'atkan oleh Allah. tidak bisa manusia dengan seenaknya begitu saja, tetapi dengan aturan-aturan yang telah disyari'atkan. sedangkan waktu adalah prasarana manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yang sesungguhnya. manusia menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya hanya untuk mencapai tujuan akhir akan kemana manusia?. jawabannya kembali kepada Allah SWT.
wallahua'lam bisshowab
menarik jika membahas masalah usia. karena disini ternyata salah besar jika usia atau umur pendek itu diidentikkan dengan masa hidup seseorang. padahal yang namanya usia pendek itu adalah jika seseorang hidup di dunia ini tidak tahu tujuan hidupnya, dari mana, mau apa, dan akan kemana?. seorang yang kesehariannya hanya dihabiskan untuk tidur, makan, jalan-jalan dan lain2 yang tidak jelas aturan dan tujuannya. ia memulai hari-harinya hanya dengan mengikuti hawa nafsu, untuk menghabiskan waktu yang ada. ia banyak dihabiskan waktu, tidak bisa mengendalikan dan memanfaatkan waktu, itulah orang-orang yang merugi.
Lain halnya dengan seorang muslim, untuk menjawab pertanyaan yang dapat menjawab kemana tujuan hidup manusia, yakni dari mana, mau apa dan akan kemana?. seorang muslim akan dengan mudah menjawab semua itu, karena islam mempunyai jawabannya.
manusia diciptakan oleh Allah, untuk beribadah kepadaNya. menjalankan apa yang di perintahkan Allah dan menjauhi laranganNya melalui Firman dan yang dibawa RasulNya Muhammad SAW. islam sudah sangat jelas menyatakan bahwa tujuan hidup manusia hanyalah beribadah dan mendapat ridhoNya. segala yang dilakukan didunia hanyalah sebuah jalan dimana manusia menuju akhirat yang kekal abadi. kehidupan dunia hanya sedetik, ia hanya sebuah ladang tempat manusia bercocok tanam untuk dipanen di akhirat kelak. dengan aturan-aturan yang telah disyari'atkan oleh Allah. tidak bisa manusia dengan seenaknya begitu saja, tetapi dengan aturan-aturan yang telah disyari'atkan. sedangkan waktu adalah prasarana manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yang sesungguhnya. manusia menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya hanya untuk mencapai tujuan akhir akan kemana manusia?. jawabannya kembali kepada Allah SWT.
wallahua'lam bisshowab
Senin, 18 Agustus 2008
Partai Politik Islam
Makna dan Fungsi Partai Politik Kini
Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.
Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.
Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.
Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.
Belajar dari Realitas Partai
Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?
Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.
Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.
Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.
Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.
Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam dengan partai bukan Islam.
Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam. Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.
Memaknai Partai Politik Islam
Pengertian dan fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah umum. Visi dan misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis, Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan partai yang benar?
Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur). Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.
Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:
»كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ«
Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR. Bukhari).
Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):
( تسوسهم الأنبياء) أي أنهم كانوا إذا ظهر فيهم
فساد بعث الله لهم نبيا لهم يقيم أمرهم ويزيل ما
غيروا من أحكام التوراة , وفيه إشارة إلى أنه لا بد
للرعية من قائم بأمورها يحملها على الطريق
الحسنة وينصف المظلوم من الظالم
“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak yang zhalim”
Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
Karakteristik Partai Politik Islam
Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).
Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة) dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah. Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu (wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.
Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban tersebut, semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz I, hal. 374).
Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi, siapa saja yang mampu menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya. Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut, sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu. Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz I, hal. 128-129)
Ringkasnya, di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin). Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).
Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut, lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.
Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam ideologis.
Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.
Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:
1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.
2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islamiyah.
3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).
4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.
5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.
6. Melakukan aktivitas:
a. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.
b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam wadah Khilafah.
c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam.
d. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.
e. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.
Arah Jalan
Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem akan berubah.
Fakta menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.
Parlemen tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan perubahan mendasar apapun.
Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:
1. Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian yang lain.
2. Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan.
3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen, bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah Allah SWT. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)
Begitu juga pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)
Adapun aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.
Jalan kedua adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.
Agama inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri, mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada semua lini masyarakat.
Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:
1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.
2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.
3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.
Pemikiran partai Islam tentu berbeda dengan partai Sekular-Kapitalis-Liberal maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai sekular menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai Islam, menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai, atau sekadar partai papan nama.
4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.
5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.
Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.
Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.
Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat.
sumber : www.hti.or.id
Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.
Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.
Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.
Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.
Belajar dari Realitas Partai
Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?
Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.
Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.
Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.
Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.
Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam dengan partai bukan Islam.
Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam. Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.
Memaknai Partai Politik Islam
Pengertian dan fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah umum. Visi dan misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis, Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan partai yang benar?
Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur). Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.
Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:
»كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ«
Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR. Bukhari).
Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):
( تسوسهم الأنبياء) أي أنهم كانوا إذا ظهر فيهم
فساد بعث الله لهم نبيا لهم يقيم أمرهم ويزيل ما
غيروا من أحكام التوراة , وفيه إشارة إلى أنه لا بد
للرعية من قائم بأمورها يحملها على الطريق
الحسنة وينصف المظلوم من الظالم
“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak yang zhalim”
Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
Karakteristik Partai Politik Islam
Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).
Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة) dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah. Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu (wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.
Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban tersebut, semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz I, hal. 374).
Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi, siapa saja yang mampu menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya. Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut, sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu. Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz I, hal. 128-129)
Ringkasnya, di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin). Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).
Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut, lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.
Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam ideologis.
Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.
Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:
1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.
2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islamiyah.
3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).
4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.
5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.
6. Melakukan aktivitas:
a. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.
b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam wadah Khilafah.
c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam.
d. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.
e. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.
Arah Jalan
Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem akan berubah.
Fakta menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.
Parlemen tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan perubahan mendasar apapun.
Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:
1. Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian yang lain.
2. Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan.
3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen, bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah Allah SWT. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)
Begitu juga pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)
Adapun aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.
Jalan kedua adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.
Agama inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri, mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada semua lini masyarakat.
Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:
1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.
2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.
3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.
Pemikiran partai Islam tentu berbeda dengan partai Sekular-Kapitalis-Liberal maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai sekular menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai Islam, menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai, atau sekadar partai papan nama.
4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.
5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.
Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.
Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.
Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat.
sumber : www.hti.or.id
Rabu, 06 Agustus 2008
Jumat, 01 Agustus 2008
Produk Anna Fatiha
Assalamu'alaikum wr wb
Maha suci Allah yang telah memberikan kemampuan kepada hamba-hambanya yang senantiasa mencari dan berusaha mencapai rizkinya yang amat banyak dan melewati berbagai penjuru pintu.
tulisan ini teruntuk sobat Anna khususnya yang berada di Kalimantan...
afwan baru bisa di posting, sempat bingung sih...he..he...
buat ka emma, Ekana pasha...(lagi siaran ya?!!!), mo request nie...lagunya vagetoz "saat kau pergi...", ternyata anna seneng juga yah... :), Adhi afwan kayaknya kurang lengkap promosinya.
buat sobat-sobat anna yang lain juga boleh ko bacanya...
...MONGGO...
bahagia sekali rasanya karena silaturrahim karena Allah semata.
semoga Anna Fatiha menjadi pengusaha sukses dunia dan akhirat...
amin...
syukron katsiron "aminnya" he..he...
ini dia sedikit dari Anna, moga berlanjut...
1.Gamis dan Krudung
a.merk Albayyinah
b.merk Arti (Tersedia catalog gambar dan harga (merk Al-bayyinah) dan catalog harga ( merk Arti)Diskon 15-20% min- pembelian Rp.500.000)
2. Manset/engkel Rp.3500-7000 Harga Sesuai ukuran, min- 20 pasang
3. Accessories
a. bross
b. gantungan kunci
c. gantungan Hp
a. Rp.2000-Rp.3000
b. Rp.2500-5000
c. Rp.2000-Rp.4000 (Min- pembelian 100 buah dari 3 jenis Accessories)
Gambar atau desain bisa dari pemesan).
4. Pin Rp.2500-5000 (Gambar atau desain bisa dari pemesan).
5. kaos kaki (Rp.7000-10.000 Sesuai model dan ukuran, minimal 12 pasang (1 lusin)
6. Ciput/alas krudung, (Rp.3000-7500, Min- pembelian 20 buah)
7. Jaket
a. 1 muka
b. 2 muka
a. Rp.90.000 -110.000
b. Rp.110.000 -125.000 (Harga disesuaikan dengan jumlah, bahan dan desain)
8. Aneka Kaos (T-shirt)
a. kaos akhwat
b. kaos olah raga
c. kaos sekolah(SD-SMA)
(Harga disesuaikan dengan jumlah, desain dan bahan. Min- 20 pcs).
9. Gamis/ jilbab (seragam pengajian ibu2, organisasi dan sejenisnya)
Mulai Rp.80.000(+ krudung mulai Rp.110.000)Harga disesuaikan dengan bahan, desain,dan jumlah pesanan. Harga bisa disesuaikan dengan permintaan pemesan.
Min- pembelian 20 pasang.
Catatan :
1. Produk bisa di Retur (tukar) maksimal 1 bulan dari waktu pemesanan.
2. Bea kirim di tanggung oleh pemesan, via TIKI, JNE atau Pos
3. Pemesanan via sms ke 085245912261 atau email ke 02_muslimah@plasa.com
4. barang akan di kirim setelah pembayaran telah di transfer.
5. pembayaran bisa langsung atau via transfer Bank Syari'ah Mandiri (BSM)
6. tersedia Produk sample mulai harga Rp.50.000-Rp.200.000
Maha suci Allah yang telah memberikan kemampuan kepada hamba-hambanya yang senantiasa mencari dan berusaha mencapai rizkinya yang amat banyak dan melewati berbagai penjuru pintu.
tulisan ini teruntuk sobat Anna khususnya yang berada di Kalimantan...
afwan baru bisa di posting, sempat bingung sih...he..he...
buat ka emma, Ekana pasha...(lagi siaran ya?!!!), mo request nie...lagunya vagetoz "saat kau pergi...", ternyata anna seneng juga yah... :), Adhi afwan kayaknya kurang lengkap promosinya.
buat sobat-sobat anna yang lain juga boleh ko bacanya...
...MONGGO...
bahagia sekali rasanya karena silaturrahim karena Allah semata.
semoga Anna Fatiha menjadi pengusaha sukses dunia dan akhirat...
amin...
syukron katsiron "aminnya" he..he...
ini dia sedikit dari Anna, moga berlanjut...
1.Gamis dan Krudung
a.merk Albayyinah
b.merk Arti (Tersedia catalog gambar dan harga (merk Al-bayyinah) dan catalog harga ( merk Arti)Diskon 15-20% min- pembelian Rp.500.000)
2. Manset/engkel Rp.3500-7000 Harga Sesuai ukuran, min- 20 pasang
3. Accessories
a. bross
b. gantungan kunci
c. gantungan Hp
a. Rp.2000-Rp.3000
b. Rp.2500-5000
c. Rp.2000-Rp.4000 (Min- pembelian 100 buah dari 3 jenis Accessories)
Gambar atau desain bisa dari pemesan).
4. Pin Rp.2500-5000 (Gambar atau desain bisa dari pemesan).
5. kaos kaki (Rp.7000-10.000 Sesuai model dan ukuran, minimal 12 pasang (1 lusin)
6. Ciput/alas krudung, (Rp.3000-7500, Min- pembelian 20 buah)
7. Jaket
a. 1 muka
b. 2 muka
a. Rp.90.000 -110.000
b. Rp.110.000 -125.000 (Harga disesuaikan dengan jumlah, bahan dan desain)
8. Aneka Kaos (T-shirt)
a. kaos akhwat
b. kaos olah raga
c. kaos sekolah(SD-SMA)
(Harga disesuaikan dengan jumlah, desain dan bahan. Min- 20 pcs).
9. Gamis/ jilbab (seragam pengajian ibu2, organisasi dan sejenisnya)
Mulai Rp.80.000(+ krudung mulai Rp.110.000)Harga disesuaikan dengan bahan, desain,dan jumlah pesanan. Harga bisa disesuaikan dengan permintaan pemesan.
Min- pembelian 20 pasang.
Catatan :
1. Produk bisa di Retur (tukar) maksimal 1 bulan dari waktu pemesanan.
2. Bea kirim di tanggung oleh pemesan, via TIKI, JNE atau Pos
3. Pemesanan via sms ke 085245912261 atau email ke 02_muslimah@plasa.com
4. barang akan di kirim setelah pembayaran telah di transfer.
5. pembayaran bisa langsung atau via transfer Bank Syari'ah Mandiri (BSM)
6. tersedia Produk sample mulai harga Rp.50.000-Rp.200.000
Kisah Hikmah
"suatu hari saat matahari dan angin saling menentang untuk melepaskan jaket seseorang. angin berkata, "saya akan melepaskan jaketnya". matahari menerima tantangan itu, lalu dia bersembunyi di balik awan. angin bertiup kencang, setiap angin mengencangkan tiupannya, semakin erat pula laki-laki itu memegang jaketnya. bahkan ia mengikatkan tali kedua ujung jaketnya. ketika sudah putus asa, angin mengaku kegagalannya lalu melemparkan senjatanya. saat itu muncullah matahari, dia tersenyum dengan ramah dan lemah lembut kepada laki-laki tadi. maka tak berapa lama laki-laki itu pun membuka jaketnya. dan pada saat itu matahari berkata, "sesungguhnya lemah lembut dan kasih sayang memiliki kekuatan yang mengungguli marah dan kekerasan".
SubhanAllah...
cerita tadi menggambarkan betapa sikap lemah lembut dan kasih sayang sangat berpengaruh terhadap diri seseorang. namun jangan menggunakan kedua sikap ini tidak sesuai koridornya. adakalanya kita harus tegas bahkan tampak keras. terhadap sikap orang-orang yang nyata-nyata menghina Allah dan Rasulnya, kita tidak boleh berdiam diri saja. ketika harga diri islam diinjak-injak. sikap lemah lembut tidak bisa diterapkan disini.
SubhanAllah...
cerita tadi menggambarkan betapa sikap lemah lembut dan kasih sayang sangat berpengaruh terhadap diri seseorang. namun jangan menggunakan kedua sikap ini tidak sesuai koridornya. adakalanya kita harus tegas bahkan tampak keras. terhadap sikap orang-orang yang nyata-nyata menghina Allah dan Rasulnya, kita tidak boleh berdiam diri saja. ketika harga diri islam diinjak-injak. sikap lemah lembut tidak bisa diterapkan disini.
Langganan:
Postingan (Atom)