Pemilu adalah jalan perubahan,merupakan anggapan dan harapan Sebagian orang bahkan setiap orang di bumi pertiwi ini, Karena, melalui pemilulah, mandat bagi penyelenggara negara itu diperbarui, baik bagi mereka yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif. Dengan harapan bahwa dengan perubahan ini akan membawa kesejahteraan terhadap rakyat. Namun, harapan ini sepertinya hanya sebuah harapan semu. Pasalnya pemilu yang berlangsung 9 April lalu dan pemilu-pemilu sebelumnya sama sekali tidak menghasilkan perubahan apa-apa. Bahkan terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan dan pengorbanan yang sangat merugikan rakyat.
Harta, untuk ajang Pemilu 2009 Komisi Pemilihan KPU mengajukan anggaran sebesar Rp. 47,9 triliun. Jumlah tersebut hampir mendekati anggaran pendidikan 20% dari APBN dan jauh lebih besar dari biaya pemilu yang sudah dihabiskan pada tahun 2004 sebesar Rp. 3,7 triliun. Nyawa, tepatnya hari Selasa, 3 Februari 2009 yang lalu, ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Azis Angkat (51) meninggal dunia pasca menerima massa demonstrasi yang tidak terkendali. Rentetan kasus lain sebelumnya yang juga memakan korban atas nama demokrasi. Waktu, Masa persiapan pemilu dan kampanye yang begitu lama jelas membuat pemerintahan di negeri ini terganggu. Waktu 5 tahun yang seharusnya digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan melayani rakyat, justru terkuras habis untuk urusan pemenangan pemilu. Kader partai yang duduk di pemerintahan ataupun dilegislatif lebih sibuk mengurusi partai dibandingkan menjalankan tugasnya. Para pemburu kekuasaan pada serius melakukan upaya pencitraan diri untuk menarik suara rakyat. Indonesia sendiri mencetak rekor sebagai negara yang paling banyak menyelenggarakan demokrasi prosedural (baca; Pemilu, Pilkada, sampai Pilkades). Faktanya, jika dihitung sejak masa reformasi saja, negeri ini telah melakukan 3 kali Pemilu. Menurut pengamat politik Eep Saefullah FatahPilkada di Indonesia diselenggarakan 3 kali sehari (Kompas, 24/6/2008). Belum lagi jika dalam sebuah suksesi menimbulkan konflik dan gejolak, maka butuh extra time untuk merampungkannya, seperti kasus Pilkada yang terjadi di Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.
Tenaga, dalam hal pengorbanan tenaga yang perlu disoroti disini adalah tenaga yang harus dikorbankan oleh rakyat akibat pembodohan demokrasi. Tenaga mereka dibutuhkan untuk menjadi tim sukses, tim kampanye, bahkan dijadikan sebagai alat propaganda lewat iklan-iklan politik. Dalam lingkup yang lebih substansial, demokrasi telah mengorbankan tenaga rakyat untuk kepentingan perusahaan dan pemilik modal. Perasaan, Perasaan rakyat dalam sistem demokrasi kerap disakiti dan dipermainkan. Mereka selalu diberikan harapan dan janji-janji manis oleh penguasa, para kapitalis dan pemburu kekuasaan, tetapi sering kali dilupakan dan diingkari. Harapan pada demokrasi yang over estimate justru membuat “makan hati” karena tidak terbukti. Perasaan rakyat juga teriris tatkala melihat kekayaan alam mereka diberikan kepada pihak asing sedangkan mereka sendiri sebagai pemilik hidup dalam kesempitan.
“Mereka stres bahkan sampai bunuh diri itu karena punya pengharapan yang terlalu tinggi’” ujar budayawan Ridwan Saidi, Rabu (15/4) di Jakarta kepada Media Umat menanggapi banyaknya caleg yang stres karena gagal menjadi anggota legislatif. karena mereka itu sudah banyak habis modal dan harus bayar utang. Inilah penomena yang terjadi beberapa waktu setelah pemilu legislative 9 April lalu. pada faktanya mereka melihat bahwa menjadi anggota legislatif itu menjadi pintu yang paling cepat dan maksimal untuk memupuk kekayaan. Gaji seorang anggota legislatif itu setara dengan gaji jabatan direksi di sebuah bank pemerintah.tidak heran jika banyak yang berbondong-bondong ke KPU untuk mendaftar sebagai Caleg, namun setelah pemilu dan tidak terpilih dengan kata lain gagal menjadi konglomerat di bangku legislative setelah jutaan hingga milyaran rupiah ludes, jadinya mereka stress.
Dengan membaca hasil pemilu, kita lihat dari hasil sementara pemilu berdasarkan perhitungan KPU, Minggu, 19/04/2009 17:54 WIB jelas partai pemerintah dan partai-partai besarlah yang tetap menjadi jawara. Partai Demokrat (31) mendapat 2.318.814 (20,11%) suara, Golkar (23) dengan 1.692.282 (14,68%) suara, PDIP (28) dengan 1.661.154 (14,41%) suara, PKS (8) 948.762 (8,23%) suara, PAN (9) 722.078 (6,26%) suara. Dengan hasil seperti ini, terbukti bahwa pemilu tidak membawa perubahan, bahkan semakin mengokohkan partai pemerintah.
Persentase golongan putih alias golput di pemilu 2009 meraih rekor tertinggi, mengalahkan suara partai-partai besar. Jumlahnya menembus di atas 30% dan menjadi jumlah golput yang tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Pemilu saat ini angka golputnya 34% dibandingkan pemilu 2004 yang lalu sekitar 26%. Sedangkan pemilu 1999 sekitar 20% (LP3ES Jumat, 10/4).
Tercatat beberapa negara dan lembaga-lembaga interna-sional telah mendaftarkan diri di Komite Pemilihan Umum (KPU) sebagai tim pemantau pemilu 2009. Mereka yang telah men-dapatkan akreditasi dari KPU sebanyak tujuh lembaga yakni National Democratic Institute (NDI), International Foundation for Electoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit (FNS), Anfrel Foun-dation (Asian Network for Free Elections Foundation), Australia Election Commission), The Carter Center, dan International Republican Institute (IRI). Mungkin bagi beberapa pemantau dari negara tetangga, mereka ingin belajar pemilu dari Indonesia karena Indonesia di-nilai oleh Amerika sebagai nega-ra demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Tapi bagi Uni Eropa atau Amerika, tentu bukan proses pemilu yang terpenting. Mengingat mereka menganggap diri mereka telah mapan berdemokrasi. Bahkan Amerika adalah kampiun demokrasi.
Intervensi asing tidak hanya sampai di situ. Mereka juga mengucurkan dana milyaran rupiah untuk seluruh kegiatan pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden mendatang. Pemerintah Inggris, misal-nya. Negara terkuat di Eropa ini mengucurkan bantuan hibah senilai 1 juta poundsterling (US$ 1,4 juta) untuk membiayai kegiatan Pemilu 2009 di Indonesia. Hibah tersebut disalurkan melalui Multi Donor Program yang dikoordinasikan United Nations Development Programme (UNDP). Muncul pertanyaan, apa kepentingannya? Mengapa Indonesia harus berdemokrasi? Jawabannya adalah tidak lepas dari strategi globalisasi. Demokrasi adalah alat bagi globalisasi untuk memperlancar liberalisasi perdagangan dan investasi. Thomas Friedman (2000) menyebut globalisasi sebagai Amerikanisasi. Globalisasi, yang di dalamnya ada liberalisasi perdagangan, demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan hak paten, menjadi kebutuhan 'survivality' bagi Amerika agar tetap menjadi adidaya dan mengeruk kekayaan alam dunia. Inilah jawaban mengapa asing khususnya Amerika ingin tetap 'mengendalikan' Indonesia.
Pemimpin atau wakil yang terpilih kelak di harap untuk mempermudah “mereka” semakin menguasai bumi pertiwi ini. Fakta ini pun menjawab mengapa Indonesia tidak pernah merdeka secara hakiki. Sebelum merdeka pun pihak asing ingin mengeruk kekayaan alam Indo-nesia. Hampir 3,5 abad Indonesia dijajah Belanda. Sebelumnya Portugis pun menikmati keka-yaan Indonesia beberapa lama. Jepang juga tak keti Setelah merdeka, Indonesia tak luput dari intervensi tersebut. Baru saja merdeka, negara adidaya saat itu berebut pengaruh di Indonesia. Awalnya Indo-nesia condong ke Blok Timur. Lama-kelamaan Indonesia malah jatuh ke Blok Barat hanya bebe-rapa tahun kemudian. Jerat itu datang karena memang Indonesia ingin dijerat. Nyatanya, Indonesia tak bisa lepas dari jeratan tersebut. Ini karena Indonesia terus berada di bawah bayang-bayang utang luar negeri. Selain itu, Barat dengan ke-kuatannya membangun jaringan orang-orang lokal yang meng-abdi kepada mereka. Muncullah Mafia Berkeley, sekelompok ahli ekonomi lulusan Amerika yang memiliki paradigma berpikir khas Amerika. Juga ada sekelompok intelektual yang tergabung dalam CSIS yang kemudian menjelma sebagai think tank pemerintah Soeharto dalam memutuskan seluruh kebijakan pembangunan nasional. Padahal semua tahu bahwa CSIS ini kiblatnya adalah Amerika.Melalui tangan-tangannya di Indonesia, pihak asing bisa mempengaruhi semua kebijakan sehingga kondisi Indonesia menjadi kondusif bagi kepentingan asing
Pemilu yang sering disebut pesta demokrasi layaknya sebuah pesta, pemilu hanyalah luapan kegembiraan sesaat. Yang ditandai oleh menjamurnya partai peserta pemilu, caleg, baligho, spanduk dan stiker, ramai-ramai di media cetak dan elektronik oleh iklan politik, dan janji-janji par tokoh partai dan pra caleg, kampanye yang dibumbui aneka ragam acara hiburan plus biaya triliunan rupiah. Namun layaknya pesta, setelah usai kedaan kembali semula, tidak ada yang berubah setelah pemilu.
Mereka yang terlanjur percaya bahwa pemilu dalam system demokrasi bisa menghasilkan perubahan, tampaknya mesti gigit jari, Karena pemilu memang sekedar dimaksudkan untuk memilih orang, seraya berharap orang yang terpilih lebih baik daripada yang sebelumnya. Pemilu melupakan bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekedar orang-orang terpilih, tetapi juga system yang terpilih. Wajarlah jika usai pemilu legislative juga pemilu presiden nanti, perubahan untuk Indonesia yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat negeri ini tidak akan pernah terwujud Selama kebobrokan system sekular ini masih di usung.
Kebaikan tidak bisa muncul hanya dari kebaikan individu. Tapi membutuhkan sistem yang baik. Semua persoalan kita di atas muncul akibat kita masih menerapkan sistem kufur yaitu sistem kapitalis yang asasnya sekuler. Alquran dan Assunnah baru kita baca dan dipraktikkan sebagian belum totalitas. Siapapun pemimpinnya kalau sistem masih sistem kapitalis yang kufur tidak akan terjadi perubahan. Meskipun pemimpinnya adalah ustadz atau kyai. Kebaikan hanya didapat oleh rakyat dan umat Islam kalau yang diterapkan adalah sistem syariah Islam. Pemilu demi pemilu sudah kita lewati. Tentu saja dengan dana yang besar. Tapi apa hasilnya untuk rakyat ? Adakah perubahan yang nyata? Jawabannya adalah tidak. Karena pemilu tidak merubah sistem secara menyeluruh. Perubahan yang nyata dan signifikan akan terjadi kalau kita menolak sistem kufur yang ada yakni kapitalisme. Kemudian kita menerapkan sistem Islam yang berdasarkan syariah Islam. Inilah satu-satunya cara perubahan yang bisa diharapkan.(dimuat di Pontianakpost, Rubrik Opini pada Sabtu, 2 Mei 2009 pukul 08:36 WIB)
Sabtu, 25 April 2009
Selasa, 21 April 2009
Buah hatiku dan suamiku

"lelah.." keluhku ketika kurebahkan tubuhku ke pembaringan. beberapa detik setelah itu ku tak sadar ternyata aku terbangun, ternyata aku tertidur sepulang dari kuliah. ku palingkan pandanganku ke arah dimana sebuah gelas berisi susu putih yang tidak ku senangi. tetapi untuk menghargai dan menyenangkan suamiku tercinta akhirnya susu itu aku minum. dengan sapaan khasnya, suamiku membisikkan ke telingaku seraya mengatakan..."ummi sayang...dd...udah ga betah mencium bau ummi yang ga enak...hehe...".
bahagianya aku, memiliki suami yang sebaik dan se shaleh ia. tidak pernah aku temukan darinya keluh kesah selama bersama diriku menemaninya. tiap kali ku merasakan lelah ketika melakukan suatu pekerjaan, ia selalu mengingatkanku.."ummi...sungguh ruginya seorang hamba melakukan ibadah kemudian ia berkeluh kesah". Hhmmm...detik itu juga aku tersenyum seraya berucap.."Astaughfirullah...".
"ummi" adalah panggilan baruku saat ini, karena sekarang aku sedang mengandung anak pertama kami. kandunganku kini berusia 2 bulan, dan sedang manja-manjanya si dd...hehe. suamiku bilang "yang manja dd apa umminya?". "dua-duanya..." jawabku.
bahagianya kami saat ini, diberikan Allah rizki yang amat berharga, Allah memberikan amanah kepada kami untuk menjaganya. setelah sekian lama perjalananku bersama suami tercinta.
Malam yang dingin..., membuat suasana semakin terasa indah. di sebuah tempat dimana aku, suami dan calon buah hatiku bersama. dengan lembut suamiku membelai buah hati kami...iapun (buah hati) seakan membalas usapan Abinya dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. meskipun ia tidak bisa mengungkapkannya dengan perkataan, tapi hal itu ku rasakan pada kondisi hatiku yang amat nyaman. "pabiayyi alaa i robbikuma tukadzibaan..." kata-kata terakhir yang aku dengar dari suara suamiku sebelum aku terlelap...
"Allahu Akbar-Allahu Akbar...". terdengar suara adzan berkumandang dari sebuah surau yang berada dekat di depan kamar kosku. aku benar-benar terlelap. ku cari-cari jejak suamiku...kiri dan kanan....
Ternyata aku bermimpi... (?_?) ...
senjakala semakin meninggalkan bumimu...
ku melangkah demi langkah menuju jalanmu...
hingga ku menemui penghujung jalan yang buntu tak berarah.
ku berhenti sejenak tuk berpikir memecah peristiwa ini. oh, sungguh ku amat tak percaya.
idealisme,
sungguh dulu ku amat melihatnya, namun kini ia hancur dan hilang seketika,
tak dapat lagi ku temukan keidealisannya itu.
aku kecewaa pada mahlukmu ya rabb...
ku melangkah demi langkah menuju jalanmu...
hingga ku menemui penghujung jalan yang buntu tak berarah.
ku berhenti sejenak tuk berpikir memecah peristiwa ini. oh, sungguh ku amat tak percaya.
idealisme,
sungguh dulu ku amat melihatnya, namun kini ia hancur dan hilang seketika,
tak dapat lagi ku temukan keidealisannya itu.
aku kecewaa pada mahlukmu ya rabb...
Rabu, 15 April 2009
tabir....
sungguh aku malu akan aib-aib yang telah terbuka.
tapi aku lebih malu pada aib-aibku yang masih tertutup.
semua tabir yang telah ku tutupi, akhirnya terbuka,
semua hijab yang menyelimuti aib-aibku, kini telah terbuka, hanya karena Cinta dunianya....
aku menangis, sesaat ketika tabir itu terbuka, aku menangis, ketika Cinta dunianya membukanya padaku.
aku mengais, karena ku malu dengan aib-aibku...
tapi aku lebih malu pada aib-aibku yang masih tertutup.
semua tabir yang telah ku tutupi, akhirnya terbuka,
semua hijab yang menyelimuti aib-aibku, kini telah terbuka, hanya karena Cinta dunianya....
aku menangis, sesaat ketika tabir itu terbuka, aku menangis, ketika Cinta dunianya membukanya padaku.
aku mengais, karena ku malu dengan aib-aibku...
Pemilu : Bukan Pesta Perubahan
Pemilu ’Pesta Demokrasi’. Pemilu hanyalah luapan kegembiraan ditandai antara lain oleh menjamurnya partai peserta Pemilu; ribuan caleg; jutaan spanduk, baliho dan stiker; ramainya media cetak dan elektronik oleh iklan politik; hingar-bingar pidato dan janji-janji para tokoh partai dan para caleg; gegap-gempitanya kampanye yang dibumbui aneka ragam acara hiburan; plus biaya triliunan rupiah.setelah usai, kondisinya kembali ke keadaan semula.
hasil Pemilu sepekan yang lalu Partai Demokrat kini di peringkat pertama, mendapatkan 20.27% suara; diikuti Golkar: 14.87% suara, PDIP: 14.14% suara, PKS: 7.81% suara, PAN: 6.05% suara, PPP: 5.32% suara, PKB: 5.25% suara, Gerindra: 4.21% suara, Hanura: 3.61% suara dan PBB: 1.65% suara (TVOne, 9/4/2009).terbukti bahwa Pemilu tidak membawa perubahan. Pemilu bahkan semakin mengokohkan partai Pemerintah yaitu Partai Demokrat, Golkar serta koalisi partai pemerintah seperti PKS, PPP, PKB dan PBB. Pemilu sama sekali menafikan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar orang-orang terpilih, tetapi juga sistem yang terpilih. Pemilu sama sekali melupakan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar pergantian orang (penguasa dan wakil rakyat), tetapi juga pergantian sistem pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dll dengan yang jauh lebih baik. perubahan untuk Indonesia yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat negeri ini tidak akan pernah terwujud, selama kebobrokan sistem sekular yang tegak berdiri saat ini tidak pernah disoal, dikritik dan diutak-atik, sekaligus diganti, karena sudah dianggap sebagai sistem yang baik.
mengharapkan terjadinya perubahan, apalagi kemenangan Islam, melalui Pemilu jelas tidak mungkin.alan perubahan yang ditempuh Baginda Nabi saw. terbukti telah mampu mengubah bangsa Arab, dari bangsa yang tidak mempunyai sejarah, sampai akhirnya menjadi pemimpin dunia.Setelah Islam tidak lagi berkuasa, tepatnya setelah institusi Khilafah diruntuhkan pada tanggal 3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H, dunia telah jatuh ke dalam genggaman Kapitalisme dan Sosialisme. Hasilnya, sebelum krisis keuangan global, ada 4 miliar jiwa, atau separuh penduduk dunia hidup, di bawah garis kemiskinan; 90% kekayaan dunia hanya dikuasai 20% penduduk dunia, sementara 10% sisanya harus dibagi 80% penduduk dunia yang lainnya. Ketika krisis keuangan menerpa dunia sejak 2007 hingga sekarang, para pemimpin G-7 tidak mampu memikul beban krisis tersebut. Mereka pun melibatkan para pemimpin G-20.Di Indonesia sendiri, pada tahun ini terdapat 10,24 juta rakyat mengganggur; 33 juta lebih hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan jika menggunakan standar Bank Dunia, angkanya bisa mencapai 100 juta orang. Sebanyak 90% kekayaan migas kita juga telah dikuasai oleh kekuatan asing. Belum lagi kekayaan alam yang lainnya. Lihatlah, kekayaan alam kita yang melimpah ternyata hanya menyumbang 20% pendapatan dalam APBN; 75%-nya diperoleh dengan ‘memalak’ rakyat, melalui pajak; sisanya 5% dari perdagangan, dan lain-lain. Inilah realitas sistem Kapitalisme Sekularisme dan Liberalisme yang mencengkeram kehidupan umat Islam, termasuk di negeri ini. masihkah kita berharap pada sistem yang rusak seperti ini, yang terbukti telah menghempaskan dunia, termasuk Indonesia, ke dalam jurang kehancuran?
hasil Pemilu sepekan yang lalu Partai Demokrat kini di peringkat pertama, mendapatkan 20.27% suara; diikuti Golkar: 14.87% suara, PDIP: 14.14% suara, PKS: 7.81% suara, PAN: 6.05% suara, PPP: 5.32% suara, PKB: 5.25% suara, Gerindra: 4.21% suara, Hanura: 3.61% suara dan PBB: 1.65% suara (TVOne, 9/4/2009).terbukti bahwa Pemilu tidak membawa perubahan. Pemilu bahkan semakin mengokohkan partai Pemerintah yaitu Partai Demokrat, Golkar serta koalisi partai pemerintah seperti PKS, PPP, PKB dan PBB. Pemilu sama sekali menafikan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar orang-orang terpilih, tetapi juga sistem yang terpilih. Pemilu sama sekali melupakan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar pergantian orang (penguasa dan wakil rakyat), tetapi juga pergantian sistem pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dll dengan yang jauh lebih baik. perubahan untuk Indonesia yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat negeri ini tidak akan pernah terwujud, selama kebobrokan sistem sekular yang tegak berdiri saat ini tidak pernah disoal, dikritik dan diutak-atik, sekaligus diganti, karena sudah dianggap sebagai sistem yang baik.
mengharapkan terjadinya perubahan, apalagi kemenangan Islam, melalui Pemilu jelas tidak mungkin.alan perubahan yang ditempuh Baginda Nabi saw. terbukti telah mampu mengubah bangsa Arab, dari bangsa yang tidak mempunyai sejarah, sampai akhirnya menjadi pemimpin dunia.Setelah Islam tidak lagi berkuasa, tepatnya setelah institusi Khilafah diruntuhkan pada tanggal 3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H, dunia telah jatuh ke dalam genggaman Kapitalisme dan Sosialisme. Hasilnya, sebelum krisis keuangan global, ada 4 miliar jiwa, atau separuh penduduk dunia hidup, di bawah garis kemiskinan; 90% kekayaan dunia hanya dikuasai 20% penduduk dunia, sementara 10% sisanya harus dibagi 80% penduduk dunia yang lainnya. Ketika krisis keuangan menerpa dunia sejak 2007 hingga sekarang, para pemimpin G-7 tidak mampu memikul beban krisis tersebut. Mereka pun melibatkan para pemimpin G-20.Di Indonesia sendiri, pada tahun ini terdapat 10,24 juta rakyat mengganggur; 33 juta lebih hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan jika menggunakan standar Bank Dunia, angkanya bisa mencapai 100 juta orang. Sebanyak 90% kekayaan migas kita juga telah dikuasai oleh kekuatan asing. Belum lagi kekayaan alam yang lainnya. Lihatlah, kekayaan alam kita yang melimpah ternyata hanya menyumbang 20% pendapatan dalam APBN; 75%-nya diperoleh dengan ‘memalak’ rakyat, melalui pajak; sisanya 5% dari perdagangan, dan lain-lain. Inilah realitas sistem Kapitalisme Sekularisme dan Liberalisme yang mencengkeram kehidupan umat Islam, termasuk di negeri ini. masihkah kita berharap pada sistem yang rusak seperti ini, yang terbukti telah menghempaskan dunia, termasuk Indonesia, ke dalam jurang kehancuran?
Senin, 13 April 2009
Forever Palestine

Mother don�t cry for me I am heading off to war
God almighty is my armour and sword
Palestine, Forever Palestine
Children being killed for throwing stones in the sky
They say to their parents don�t worry, God is on our side
Palestine, Forever Palestine
Mother don�t worry when they come for us at night
Surely they�ll be sorry when God puts them right
Tell me why they�re doing what was done to them
Don�t they know that God is with the oppressed and needy
Perished were the nations that ruled through tyranny
Palestine, Forever Palestine
[ www.thenasheedlyrics.com ]
Children of Palestine are fighting for their lives
They say to their parents we know that Palestine is our right
They to say to their parents we�ll fight for what is right
They say not to worry God is on our side
They say we�ll die for Palestine
Palestine, Forever Palestine
Sabtu, 11 April 2009
kenapa demi cinta duniamu?
syahid Alhafidz ku...
demi cinta duniamu engkau membuka aib-aib kita bersama.
demi cinta duniamu, engkau lupa akan kesalahanmu.
aku sangat kecewa kepadamu...
demi cinta duniamu engkau membuka aib-aib kita bersama.
demi cinta duniamu, engkau lupa akan kesalahanmu.
aku sangat kecewa kepadamu...
الرَّحْمَنُ
الرَّحْمَنُ
عَلَّمَ الْقُرْآنَ
خَلَقَ الْإِنسَانَ
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
وَالسَّمَاء رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَان
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ
فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ
وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
عَلَّمَ الْقُرْآنَ
خَلَقَ الْإِنسَانَ
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
وَالسَّمَاء رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَان
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ
فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ
وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Pemilu yang Malang....
Kamis, 9 April 2009, rakyat negeri ini yang mayoritas Muslim serentak melakukan pencontrengan tanda partai/gambar caleg yang menjadi pilihannya, meski sebagian mereka ada yang lebih memilih ‘golput’. Pemilu 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan: anggaran biaya yang besar; proses pembahasan UU Pemilu yang cukup alot, verifikasi parpol calon peserta yang rumit, pengesahan 38 parpol peserta Pemilu yang demikian banyak (melebihi parpol peserta Pemilu pertama tahun 1955), penetapan jumlah ‘suara terbanyak’ oleh MK untuk para caleg yang menuai perdebatan, serta munculnya sejumlah kasus teknis seperti kemungkinan terlambatnya pasokan logistik Pemilu ke sejumlah derah hingga dugaan adanya manipulasi seputar DPT (Daftar Pemilih Tetap). Pemilu sekarang juga menyimpan potensi ledakan masalah sosial, yaitu ledakan para caleg yang stres atau frustasi karena gagal menjadi anggota legislatif.
Bayangkan, di tingkat kabupaten/kota saja, ada 1,5 juta orang bersaing untuk merebut 15.750 kursi DPRD II. Dengan kata lain, dipastikan 1.484.250 orang atau 98,9% caleg DPRD II gagal meraih impiannya. Jika angka itu ditambahkan dengan jumlah para caleg yang gagal duduk di DPRD I dan DPR maka akan ada 1.605.884 caleg di seluruh Indonesia yang berpotensi stres atau frustasi. Pasalnya, mereka sudah mengeluarkan biaya puluhan juta, atau ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk kampanye Pemilu. Padahal, uang sebesar itu, selain dari sumbangan pihak lain, tidak jarang juga merupakan hasil dari ‘menguras’ harta-bendanya, atau bahkan ngutang sana-sini.
sikap seorang Muslim yang seharusnya secara syar’i terhadap Pemilu itu sendiri sebetulnya sederhana. Intinya, setiap pilihan ada hisabnya di sisi Allah SWT, termasuk memilih untuk tidak memilih alias ’golput’. Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim merenungkan kembali pilihannya yang telah ia lakukan saat Pemilu. Kesalahan memilih tidak hanya berakibat di dunia, tetapi juga di akhirat. Akibat di dunia adalah terpilihnya orang-orang yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak amanah dan tidak memperjuangkan tegaknya syariah Islam, bahkan semakin mengokohnya sistem sekular yang nyata-nyata bobrok dan bertentangan dengan Islam. Semakin kokohnya sistem sekular tentu akan semakin memperpanjang kemungkaran. Adapun akibat di akhirat karena kesalahan dalam memilih tentu saja adalah dosa dan azab dari Allah SWT. seorang Muslim sejatinya tetap menata dan menyelaraskan setiap perbuatannya, termasuk pilihannya, dengan tuntunan yang datang dari Allah SWT melalui Rasulullah saw.
Setiap perbuatan dan pilihan manusia harus terikat dengan syariah. Tentu karena setiap perbuatan/pilihan manusia, sekecil apapun, akan dihisab oleh Allah SWT. memilih pemimpin seperti Nabi saw. adalah ikhtiar yang harus kita lakukan. Namun, tentu kita pun harus memilih sistem/aturan yang digunakan oleh Nabi saw. dalam kepemimpinannya. jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Nabi saw., maka kepemimpinan Nabi saw. di Madinah al-Munawwarah—yang saat itu merupakan Daulah Islamiyah (Negara Islam)—itulah yang mesti diteladani dan dijalankan. Saat itu, sebagai kepala Negara Islam, Nabi saw. hanya menerapkan sistem Islam dalam mengatur negara.seandainya di negeri ini orang yang terpilih sebagai pemimpin secara moral sangat baik, tetapi sistem/aturan yang mereka jalankan bukan sistem/aturan syariah sebagaimana yang dipraktikkan Nabi saw., tentu beragam persoalan di negeri ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Sebab, sebagai kepala negara, Nabi saw. memimpin dan mengatur masyarakat tidak sekadar dengan mengandalkan akhlak atau moralnya, tetapi sekaligus dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepadanya.(dimuat di Galamedia, edisi Senin, 13 April 2009)
Bayangkan, di tingkat kabupaten/kota saja, ada 1,5 juta orang bersaing untuk merebut 15.750 kursi DPRD II. Dengan kata lain, dipastikan 1.484.250 orang atau 98,9% caleg DPRD II gagal meraih impiannya. Jika angka itu ditambahkan dengan jumlah para caleg yang gagal duduk di DPRD I dan DPR maka akan ada 1.605.884 caleg di seluruh Indonesia yang berpotensi stres atau frustasi. Pasalnya, mereka sudah mengeluarkan biaya puluhan juta, atau ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk kampanye Pemilu. Padahal, uang sebesar itu, selain dari sumbangan pihak lain, tidak jarang juga merupakan hasil dari ‘menguras’ harta-bendanya, atau bahkan ngutang sana-sini.
sikap seorang Muslim yang seharusnya secara syar’i terhadap Pemilu itu sendiri sebetulnya sederhana. Intinya, setiap pilihan ada hisabnya di sisi Allah SWT, termasuk memilih untuk tidak memilih alias ’golput’. Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim merenungkan kembali pilihannya yang telah ia lakukan saat Pemilu. Kesalahan memilih tidak hanya berakibat di dunia, tetapi juga di akhirat. Akibat di dunia adalah terpilihnya orang-orang yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak amanah dan tidak memperjuangkan tegaknya syariah Islam, bahkan semakin mengokohnya sistem sekular yang nyata-nyata bobrok dan bertentangan dengan Islam. Semakin kokohnya sistem sekular tentu akan semakin memperpanjang kemungkaran. Adapun akibat di akhirat karena kesalahan dalam memilih tentu saja adalah dosa dan azab dari Allah SWT. seorang Muslim sejatinya tetap menata dan menyelaraskan setiap perbuatannya, termasuk pilihannya, dengan tuntunan yang datang dari Allah SWT melalui Rasulullah saw.
Setiap perbuatan dan pilihan manusia harus terikat dengan syariah. Tentu karena setiap perbuatan/pilihan manusia, sekecil apapun, akan dihisab oleh Allah SWT. memilih pemimpin seperti Nabi saw. adalah ikhtiar yang harus kita lakukan. Namun, tentu kita pun harus memilih sistem/aturan yang digunakan oleh Nabi saw. dalam kepemimpinannya. jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Nabi saw., maka kepemimpinan Nabi saw. di Madinah al-Munawwarah—yang saat itu merupakan Daulah Islamiyah (Negara Islam)—itulah yang mesti diteladani dan dijalankan. Saat itu, sebagai kepala Negara Islam, Nabi saw. hanya menerapkan sistem Islam dalam mengatur negara.seandainya di negeri ini orang yang terpilih sebagai pemimpin secara moral sangat baik, tetapi sistem/aturan yang mereka jalankan bukan sistem/aturan syariah sebagaimana yang dipraktikkan Nabi saw., tentu beragam persoalan di negeri ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Sebab, sebagai kepala negara, Nabi saw. memimpin dan mengatur masyarakat tidak sekadar dengan mengandalkan akhlak atau moralnya, tetapi sekaligus dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepadanya.(dimuat di Galamedia, edisi Senin, 13 April 2009)
Kamis, 02 April 2009
SITU GINTUNG: dimana penguasa?!
Kita kembali dikagetkan oleh sebuah bencana yang menebarkan kengiluan dan kepiluan yakni ‘Tragedi Situ Gintung’. Ledakan besar menandai ambrolnya tanggul sisi timur Situ Gintung Ciputat, Jumat subuh 27 Maret lalu; menggelentorkan 200 juta meter kubik air danau ke tiga kampung dan perumahan warga. menewaskan sedikitnya 91 orang, 107 lainnya hilang, 183 rumah hancur lebur dan lima unit mobil rusak parah. rentetan bencana alam yang mengakrabi Indonesia merupakan peringatan dari Allah SWT terhadap bangsa ini yang membiarkan semakin terjadinya kerusakan dan kemaksiatan. secara alamiah Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana.
Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami. secara alamiah Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana. Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami.
Penguasa tidak melakukan upaya sungguh-sungguh membangun suatu sistem kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Negara gagal membangun sistem pendidikan yang memasukkan perspektif kerentanan bencana dalam kurikulum; gagal melakukan sosialisasi terhadap ancaman bencana; gagal melindungi lingkungan dari laju kerusakan; dan gagal dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap kegiatan yang potensial menimbulkan bencana ekologis, seperti dalam tragedi ‘Lumpur Lapindo’ di Sidoarjo, Jawa Timur. Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut.
Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut. Tragedi Situ Gintung ini bukti, endungan yang dibangun Belanda pada 1932 ini, kerusakannya sudah dikeluhkan dan dilaporkan warga sejak 2 tahun lalu kepada Dinas Perairan setempat namun laporan tak ditanggapi. lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton.lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton.
Umar bin al-Khaththab ra., saat menjadi khalifah, begitu terkenal dengan kata-katanya yang menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang penguasa agung (al-imâm al-a’zham): “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di Akhirat nanti.” Sepanjang sejarah kepemimpinannya, telah banyak riwayat yang menunjukkan betapa tingginya kepedulian beliau terhadap rakyatnya. setiap malam selalu berkeliling untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Beliau tak segan-segan memanggul sendiri gandum di atas pundaknya untuk diberikan kepada seorang janda dan keluarganya saat diketahui bahwa mereka sedang kelaparan. Padahal saat itu beliau adalah seorang penguasa besar dengan kekuasaan yang membentang sepanjang jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika.
Jika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. begitu gelisah memikirkan seekor keledai karena khawatir terperosok akibat jalanan rusak, bagaimana dengan para penguasa sekarang? meski semburan Lumpur Lapindo telah mengubur sekian desa dan telah berlangsung lebih dari dua tahun, Pemerintah seakan-akan sudah tidak lagi memiliki nurani; membiarkan masyarakat yang menjadi korban menderita lebih menyakitkan lagi. Ironisnya, janji-jani manis untuk rakyat tetap mereka lontarkan di saat-saat kampanye Pemilu tanpa rasa malu; seolah-olah mereka menganggap rakyat buta dan tuli atas kelalaian, ketidakamanahan, bahkan kelaliman mereka terhadap rakyat selama mereka berkuasa. Mereka tetap percaya diri untuk maju dalam Pemilu demi sebuah mimpi: menjadi penguasa. Generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti sesuatu yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin.
Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin karena mereka mengetahui konsekuensi dan risiko menjadi pemimpin. Mereka begitu memahami banyak hadist Nabi saw. Tentang beratnya pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan Allah pada Hari Akhirat nanti. Wajarlah jika Umar bin Abdul Aziz sampai mengurung di kamarnya begitu lama seraya menangis sesaat setelah umat membaiatnya menjadi khalifah, meski ia telah berusaha keras menolaknya. Yang selalu menghantui pikirannya tidak lain adalah, betapa beratnya nanti ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT di Hari Akhir nanti.
Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami. secara alamiah Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana. Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami.
Penguasa tidak melakukan upaya sungguh-sungguh membangun suatu sistem kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Negara gagal membangun sistem pendidikan yang memasukkan perspektif kerentanan bencana dalam kurikulum; gagal melakukan sosialisasi terhadap ancaman bencana; gagal melindungi lingkungan dari laju kerusakan; dan gagal dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap kegiatan yang potensial menimbulkan bencana ekologis, seperti dalam tragedi ‘Lumpur Lapindo’ di Sidoarjo, Jawa Timur. Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut.
Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut. Tragedi Situ Gintung ini bukti, endungan yang dibangun Belanda pada 1932 ini, kerusakannya sudah dikeluhkan dan dilaporkan warga sejak 2 tahun lalu kepada Dinas Perairan setempat namun laporan tak ditanggapi. lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton.lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton.
Umar bin al-Khaththab ra., saat menjadi khalifah, begitu terkenal dengan kata-katanya yang menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang penguasa agung (al-imâm al-a’zham): “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di Akhirat nanti.” Sepanjang sejarah kepemimpinannya, telah banyak riwayat yang menunjukkan betapa tingginya kepedulian beliau terhadap rakyatnya. setiap malam selalu berkeliling untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Beliau tak segan-segan memanggul sendiri gandum di atas pundaknya untuk diberikan kepada seorang janda dan keluarganya saat diketahui bahwa mereka sedang kelaparan. Padahal saat itu beliau adalah seorang penguasa besar dengan kekuasaan yang membentang sepanjang jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika.
Jika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. begitu gelisah memikirkan seekor keledai karena khawatir terperosok akibat jalanan rusak, bagaimana dengan para penguasa sekarang? meski semburan Lumpur Lapindo telah mengubur sekian desa dan telah berlangsung lebih dari dua tahun, Pemerintah seakan-akan sudah tidak lagi memiliki nurani; membiarkan masyarakat yang menjadi korban menderita lebih menyakitkan lagi. Ironisnya, janji-jani manis untuk rakyat tetap mereka lontarkan di saat-saat kampanye Pemilu tanpa rasa malu; seolah-olah mereka menganggap rakyat buta dan tuli atas kelalaian, ketidakamanahan, bahkan kelaliman mereka terhadap rakyat selama mereka berkuasa. Mereka tetap percaya diri untuk maju dalam Pemilu demi sebuah mimpi: menjadi penguasa. Generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti sesuatu yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin.
Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin karena mereka mengetahui konsekuensi dan risiko menjadi pemimpin. Mereka begitu memahami banyak hadist Nabi saw. Tentang beratnya pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan Allah pada Hari Akhirat nanti. Wajarlah jika Umar bin Abdul Aziz sampai mengurung di kamarnya begitu lama seraya menangis sesaat setelah umat membaiatnya menjadi khalifah, meski ia telah berusaha keras menolaknya. Yang selalu menghantui pikirannya tidak lain adalah, betapa beratnya nanti ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT di Hari Akhir nanti.
Langganan:
Postingan (Atom)