Pemilu adalah jalan perubahan,merupakan anggapan dan harapan Sebagian orang bahkan setiap orang di bumi pertiwi ini, Karena, melalui pemilulah, mandat bagi penyelenggara negara itu diperbarui, baik bagi mereka yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif. Dengan harapan bahwa dengan perubahan ini akan membawa kesejahteraan terhadap rakyat. Namun, harapan ini sepertinya hanya sebuah harapan semu. Pasalnya pemilu yang berlangsung 9 April lalu dan pemilu-pemilu sebelumnya sama sekali tidak menghasilkan perubahan apa-apa. Bahkan terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan dan pengorbanan yang sangat merugikan rakyat.
Harta, untuk ajang Pemilu 2009 Komisi Pemilihan KPU mengajukan anggaran sebesar Rp. 47,9 triliun. Jumlah tersebut hampir mendekati anggaran pendidikan 20% dari APBN dan jauh lebih besar dari biaya pemilu yang sudah dihabiskan pada tahun 2004 sebesar Rp. 3,7 triliun. Nyawa, tepatnya hari Selasa, 3 Februari 2009 yang lalu, ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Azis Angkat (51) meninggal dunia pasca menerima massa demonstrasi yang tidak terkendali. Rentetan kasus lain sebelumnya yang juga memakan korban atas nama demokrasi. Waktu, Masa persiapan pemilu dan kampanye yang begitu lama jelas membuat pemerintahan di negeri ini terganggu. Waktu 5 tahun yang seharusnya digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan melayani rakyat, justru terkuras habis untuk urusan pemenangan pemilu. Kader partai yang duduk di pemerintahan ataupun dilegislatif lebih sibuk mengurusi partai dibandingkan menjalankan tugasnya. Para pemburu kekuasaan pada serius melakukan upaya pencitraan diri untuk menarik suara rakyat. Indonesia sendiri mencetak rekor sebagai negara yang paling banyak menyelenggarakan demokrasi prosedural (baca; Pemilu, Pilkada, sampai Pilkades). Faktanya, jika dihitung sejak masa reformasi saja, negeri ini telah melakukan 3 kali Pemilu. Menurut pengamat politik Eep Saefullah FatahPilkada di Indonesia diselenggarakan 3 kali sehari (Kompas, 24/6/2008). Belum lagi jika dalam sebuah suksesi menimbulkan konflik dan gejolak, maka butuh extra time untuk merampungkannya, seperti kasus Pilkada yang terjadi di Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.
Tenaga, dalam hal pengorbanan tenaga yang perlu disoroti disini adalah tenaga yang harus dikorbankan oleh rakyat akibat pembodohan demokrasi. Tenaga mereka dibutuhkan untuk menjadi tim sukses, tim kampanye, bahkan dijadikan sebagai alat propaganda lewat iklan-iklan politik. Dalam lingkup yang lebih substansial, demokrasi telah mengorbankan tenaga rakyat untuk kepentingan perusahaan dan pemilik modal. Perasaan, Perasaan rakyat dalam sistem demokrasi kerap disakiti dan dipermainkan. Mereka selalu diberikan harapan dan janji-janji manis oleh penguasa, para kapitalis dan pemburu kekuasaan, tetapi sering kali dilupakan dan diingkari. Harapan pada demokrasi yang over estimate justru membuat “makan hati” karena tidak terbukti. Perasaan rakyat juga teriris tatkala melihat kekayaan alam mereka diberikan kepada pihak asing sedangkan mereka sendiri sebagai pemilik hidup dalam kesempitan.
“Mereka stres bahkan sampai bunuh diri itu karena punya pengharapan yang terlalu tinggi’” ujar budayawan Ridwan Saidi, Rabu (15/4) di Jakarta kepada Media Umat menanggapi banyaknya caleg yang stres karena gagal menjadi anggota legislatif. karena mereka itu sudah banyak habis modal dan harus bayar utang. Inilah penomena yang terjadi beberapa waktu setelah pemilu legislative 9 April lalu. pada faktanya mereka melihat bahwa menjadi anggota legislatif itu menjadi pintu yang paling cepat dan maksimal untuk memupuk kekayaan. Gaji seorang anggota legislatif itu setara dengan gaji jabatan direksi di sebuah bank pemerintah.tidak heran jika banyak yang berbondong-bondong ke KPU untuk mendaftar sebagai Caleg, namun setelah pemilu dan tidak terpilih dengan kata lain gagal menjadi konglomerat di bangku legislative setelah jutaan hingga milyaran rupiah ludes, jadinya mereka stress.
Dengan membaca hasil pemilu, kita lihat dari hasil sementara pemilu berdasarkan perhitungan KPU, Minggu, 19/04/2009 17:54 WIB jelas partai pemerintah dan partai-partai besarlah yang tetap menjadi jawara. Partai Demokrat (31) mendapat 2.318.814 (20,11%) suara, Golkar (23) dengan 1.692.282 (14,68%) suara, PDIP (28) dengan 1.661.154 (14,41%) suara, PKS (8) 948.762 (8,23%) suara, PAN (9) 722.078 (6,26%) suara. Dengan hasil seperti ini, terbukti bahwa pemilu tidak membawa perubahan, bahkan semakin mengokohkan partai pemerintah.
Persentase golongan putih alias golput di pemilu 2009 meraih rekor tertinggi, mengalahkan suara partai-partai besar. Jumlahnya menembus di atas 30% dan menjadi jumlah golput yang tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Pemilu saat ini angka golputnya 34% dibandingkan pemilu 2004 yang lalu sekitar 26%. Sedangkan pemilu 1999 sekitar 20% (LP3ES Jumat, 10/4).
Tercatat beberapa negara dan lembaga-lembaga interna-sional telah mendaftarkan diri di Komite Pemilihan Umum (KPU) sebagai tim pemantau pemilu 2009. Mereka yang telah men-dapatkan akreditasi dari KPU sebanyak tujuh lembaga yakni National Democratic Institute (NDI), International Foundation for Electoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit (FNS), Anfrel Foun-dation (Asian Network for Free Elections Foundation), Australia Election Commission), The Carter Center, dan International Republican Institute (IRI). Mungkin bagi beberapa pemantau dari negara tetangga, mereka ingin belajar pemilu dari Indonesia karena Indonesia di-nilai oleh Amerika sebagai nega-ra demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Tapi bagi Uni Eropa atau Amerika, tentu bukan proses pemilu yang terpenting. Mengingat mereka menganggap diri mereka telah mapan berdemokrasi. Bahkan Amerika adalah kampiun demokrasi.
Intervensi asing tidak hanya sampai di situ. Mereka juga mengucurkan dana milyaran rupiah untuk seluruh kegiatan pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden mendatang. Pemerintah Inggris, misal-nya. Negara terkuat di Eropa ini mengucurkan bantuan hibah senilai 1 juta poundsterling (US$ 1,4 juta) untuk membiayai kegiatan Pemilu 2009 di Indonesia. Hibah tersebut disalurkan melalui Multi Donor Program yang dikoordinasikan United Nations Development Programme (UNDP). Muncul pertanyaan, apa kepentingannya? Mengapa Indonesia harus berdemokrasi? Jawabannya adalah tidak lepas dari strategi globalisasi. Demokrasi adalah alat bagi globalisasi untuk memperlancar liberalisasi perdagangan dan investasi. Thomas Friedman (2000) menyebut globalisasi sebagai Amerikanisasi. Globalisasi, yang di dalamnya ada liberalisasi perdagangan, demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan hak paten, menjadi kebutuhan 'survivality' bagi Amerika agar tetap menjadi adidaya dan mengeruk kekayaan alam dunia. Inilah jawaban mengapa asing khususnya Amerika ingin tetap 'mengendalikan' Indonesia.
Pemimpin atau wakil yang terpilih kelak di harap untuk mempermudah “mereka” semakin menguasai bumi pertiwi ini. Fakta ini pun menjawab mengapa Indonesia tidak pernah merdeka secara hakiki. Sebelum merdeka pun pihak asing ingin mengeruk kekayaan alam Indo-nesia. Hampir 3,5 abad Indonesia dijajah Belanda. Sebelumnya Portugis pun menikmati keka-yaan Indonesia beberapa lama. Jepang juga tak keti Setelah merdeka, Indonesia tak luput dari intervensi tersebut. Baru saja merdeka, negara adidaya saat itu berebut pengaruh di Indonesia. Awalnya Indo-nesia condong ke Blok Timur. Lama-kelamaan Indonesia malah jatuh ke Blok Barat hanya bebe-rapa tahun kemudian. Jerat itu datang karena memang Indonesia ingin dijerat. Nyatanya, Indonesia tak bisa lepas dari jeratan tersebut. Ini karena Indonesia terus berada di bawah bayang-bayang utang luar negeri. Selain itu, Barat dengan ke-kuatannya membangun jaringan orang-orang lokal yang meng-abdi kepada mereka. Muncullah Mafia Berkeley, sekelompok ahli ekonomi lulusan Amerika yang memiliki paradigma berpikir khas Amerika. Juga ada sekelompok intelektual yang tergabung dalam CSIS yang kemudian menjelma sebagai think tank pemerintah Soeharto dalam memutuskan seluruh kebijakan pembangunan nasional. Padahal semua tahu bahwa CSIS ini kiblatnya adalah Amerika.Melalui tangan-tangannya di Indonesia, pihak asing bisa mempengaruhi semua kebijakan sehingga kondisi Indonesia menjadi kondusif bagi kepentingan asing
Pemilu yang sering disebut pesta demokrasi layaknya sebuah pesta, pemilu hanyalah luapan kegembiraan sesaat. Yang ditandai oleh menjamurnya partai peserta pemilu, caleg, baligho, spanduk dan stiker, ramai-ramai di media cetak dan elektronik oleh iklan politik, dan janji-janji par tokoh partai dan pra caleg, kampanye yang dibumbui aneka ragam acara hiburan plus biaya triliunan rupiah. Namun layaknya pesta, setelah usai kedaan kembali semula, tidak ada yang berubah setelah pemilu.
Mereka yang terlanjur percaya bahwa pemilu dalam system demokrasi bisa menghasilkan perubahan, tampaknya mesti gigit jari, Karena pemilu memang sekedar dimaksudkan untuk memilih orang, seraya berharap orang yang terpilih lebih baik daripada yang sebelumnya. Pemilu melupakan bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekedar orang-orang terpilih, tetapi juga system yang terpilih. Wajarlah jika usai pemilu legislative juga pemilu presiden nanti, perubahan untuk Indonesia yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat negeri ini tidak akan pernah terwujud Selama kebobrokan system sekular ini masih di usung.
Kebaikan tidak bisa muncul hanya dari kebaikan individu. Tapi membutuhkan sistem yang baik. Semua persoalan kita di atas muncul akibat kita masih menerapkan sistem kufur yaitu sistem kapitalis yang asasnya sekuler. Alquran dan Assunnah baru kita baca dan dipraktikkan sebagian belum totalitas. Siapapun pemimpinnya kalau sistem masih sistem kapitalis yang kufur tidak akan terjadi perubahan. Meskipun pemimpinnya adalah ustadz atau kyai. Kebaikan hanya didapat oleh rakyat dan umat Islam kalau yang diterapkan adalah sistem syariah Islam. Pemilu demi pemilu sudah kita lewati. Tentu saja dengan dana yang besar. Tapi apa hasilnya untuk rakyat ? Adakah perubahan yang nyata? Jawabannya adalah tidak. Karena pemilu tidak merubah sistem secara menyeluruh. Perubahan yang nyata dan signifikan akan terjadi kalau kita menolak sistem kufur yang ada yakni kapitalisme. Kemudian kita menerapkan sistem Islam yang berdasarkan syariah Islam. Inilah satu-satunya cara perubahan yang bisa diharapkan.(dimuat di Pontianakpost, Rubrik Opini pada Sabtu, 2 Mei 2009 pukul 08:36 WIB)
Sabtu, 25 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar