Kamis, 02 April 2009

SITU GINTUNG: dimana penguasa?!

Kita kembali dikagetkan oleh sebuah bencana yang menebarkan kengiluan dan kepiluan yakni ‘Tragedi Situ Gintung’. Ledakan besar menandai ambrolnya tanggul sisi timur Situ Gintung Ciputat, Jumat subuh 27 Maret lalu; menggelentorkan 200 juta meter kubik air danau ke tiga kampung dan perumahan warga. menewaskan sedikitnya 91 orang, 107 lainnya hilang, 183 rumah hancur lebur dan lima unit mobil rusak parah. rentetan bencana alam yang mengakrabi Indonesia merupakan peringatan dari Allah SWT terhadap bangsa ini yang membiarkan semakin terjadinya kerusakan dan kemaksiatan. secara alamiah Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana.

Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami. secara alamiah Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana. Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami.

Penguasa tidak melakukan upaya sungguh-sungguh membangun suatu sistem kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Negara gagal membangun sistem pendidikan yang memasukkan perspektif kerentanan bencana dalam kurikulum; gagal melakukan sosialisasi terhadap ancaman bencana; gagal melindungi lingkungan dari laju kerusakan; dan gagal dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap kegiatan yang potensial menimbulkan bencana ekologis, seperti dalam tragedi ‘Lumpur Lapindo’ di Sidoarjo, Jawa Timur. Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut.

Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut. Tragedi Situ Gintung ini bukti, endungan yang dibangun Belanda pada 1932 ini, kerusakannya sudah dikeluhkan dan dilaporkan warga sejak 2 tahun lalu kepada Dinas Perairan setempat namun laporan tak ditanggapi. lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton.lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton.
Umar bin al-Khaththab ra., saat menjadi khalifah, begitu terkenal dengan kata-katanya yang menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang penguasa agung (al-imâm al-a’zham): “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di Akhirat nanti.” Sepanjang sejarah kepemimpinannya, telah banyak riwayat yang menunjukkan betapa tingginya kepedulian beliau terhadap rakyatnya. setiap malam selalu berkeliling untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Beliau tak segan-segan memanggul sendiri gandum di atas pundaknya untuk diberikan kepada seorang janda dan keluarganya saat diketahui bahwa mereka sedang kelaparan. Padahal saat itu beliau adalah seorang penguasa besar dengan kekuasaan yang membentang sepanjang jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika.
Jika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. begitu gelisah memikirkan seekor keledai karena khawatir terperosok akibat jalanan rusak, bagaimana dengan para penguasa sekarang? meski semburan Lumpur Lapindo telah mengubur sekian desa dan telah berlangsung lebih dari dua tahun, Pemerintah seakan-akan sudah tidak lagi memiliki nurani; membiarkan masyarakat yang menjadi korban menderita lebih menyakitkan lagi. Ironisnya, janji-jani manis untuk rakyat tetap mereka lontarkan di saat-saat kampanye Pemilu tanpa rasa malu; seolah-olah mereka menganggap rakyat buta dan tuli atas kelalaian, ketidakamanahan, bahkan kelaliman mereka terhadap rakyat selama mereka berkuasa. Mereka tetap percaya diri untuk maju dalam Pemilu demi sebuah mimpi: menjadi penguasa. Generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti sesuatu yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin.
Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin karena mereka mengetahui konsekuensi dan risiko menjadi pemimpin. Mereka begitu memahami banyak hadist Nabi saw. Tentang beratnya pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan Allah pada Hari Akhirat nanti. Wajarlah jika Umar bin Abdul Aziz sampai mengurung di kamarnya begitu lama seraya menangis sesaat setelah umat membaiatnya menjadi khalifah, meski ia telah berusaha keras menolaknya. Yang selalu menghantui pikirannya tidak lain adalah, betapa beratnya nanti ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT di Hari Akhir nanti.

Tidak ada komentar: