Pertama: Pornografi dan pornoaksi adalah kemungkaran yang harus dilenyapkan; bukan diatur, apalagi dilegalisasi.
Kedua: Islam memang tidak secara khusus memberikan pengertian tentang pornografi. Namun, Islam memiliki konsep tentang aurat yang jelas dan baku. Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut.
Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ»
Janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki lain dan jangan pula wanita melihat aurat wanita lain (HR Muslim).
Adapun aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan mahram-nya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Janganlah para wanita menampakkan perhiasan (aurat)-nya kecuali yang biasa tampak padanya (QS an-Nur [24: 31).
Ibn Abbas menafsirkan frasa ’yang biasa tampak padanya’ adalah wajah dan kedua telapak tangan. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ الْجَارِيَةَ إَذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ وَجْهُهَا وَ يَدَاهَا إَلَى الْمَفْصَلِ
Sesungguhnya seorang anak gadis itu, jika telah haid (balig), tidak boleh tampak darinya kecuali wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangannya (HR Abu Dawud).
Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak, terlepas terlihatnya aurat itu dapat membangkitkan birahi atau tidak. Di samping itu, pakaian yang dikenakan para wanita di tempat umum sudah ditentukan yakni: jilbab (QS al-Ahzab [33]; 59) dan kerudung (QS an-Nur [24]: 31). Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornografi.
Ketiga: Islam juga melarang beberapa perilaku yang berkaitan dengan tata pergaulan pria dan wanita. Di antaranya Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), ber-khalwat (berdua-duaan) dengan wanita bukan mahram (apalagi berpelukan dan berciuman), ber-ikhtilât (bercampur-baur antara pria-wanita), dan segala perbuatan yang dapat mengantarkan pada perzinaan.
Ketentuan itu berlaku umum. Seni budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional tidak termasuk dalam alasan yang dibenarkan syar’i untuk membolehkan pornografi dan pornoaksi dilakukan di tengah kehidupan masyarakat. Perkecualian hanya disandarkan pada ketentuan syariah, seperti dalam kesaksian dalam pengadilan dan pengobatan. Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornoaksi.
Minggu, 19 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar